Erikson
mengelompokkan tahapan kehidupan ke dalam 8 stage yang merentang sejak
kelahiran hingga kematian.
1. Tahap
Bayi (Infancy): Sejak lahir hingga usia 18 bulan.
Kekuatan
dasar: Dorongan dan harapan
Periode ini
disebut juga dengan tahapan sensorik oral, karena orang biasa melihat bayi
memasukkan segala sesuatu ke dalam mulutnya. Sosok Ibu memainkan peranan
terpenting untuk memberikan perhatian positif dan penuh kasih kepada anak,
dengan penekanan pada kontak visual dan sentuhan. Jika periode ini dilalui
dengan baik, bayi akan menumbuhkan perasaan trust (percaya) pada lingkungan dan
melihat bahwa kehidupan ini pada dasarnya baik. Sebaliknya, bila gagal di
periode ini, individu memiliki perasaan mistrust (tidak percaya) dan akan
melihat bahwa dunia ini adalah tempat yang mengecewakan dan penuh frustrasi.
Banyak studi tentang bunuh diri dan usaha bunuh diri yang menunjukkan betapa pentingnya
pembentukan keyakinan di tahun-tahun awal kehidupan ini. Di awal kehidupan ini
begitu penting meletakkan dasar perasaan percaya dan keyakinan bahwa tiap
manusia memiliki hak untuk hidup di muka bumi, dan hal itu hanya bisa dilakukan
oleh sosok Ibu, atau siapapun yang dianggap signifikan dalam memberikan kasih
sayang secara tetap.
QS
Al-Baqarah 233: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Islam
mengatakan bahwa sosok Ibu atau pengganti Ibu adalah madrasah pertama melalui
kasih sayangnya, sehingga ada pepatah “surga di telapak kaki ibu”. Ibu lah yang
bertanggung jawab di awal untuk mengantarkan anak ke surga.
2. Tahap
Kanak-Kanak Awal (Early Childhood): 18 Bulan hingga 3 tahun
Hasil
perkembangan ego: autonomy vs shame (otonomi vs rasa malu)
Kekuatan
dasar: Pengendalian diri, keberanian, dan kemauan (will)
Selama
tahapan ini individu mempelajari ketrampilan untuk diri sendiri. Bukan sekedar
belajar berjalan, bicara, dan makan sendiri, melainkan juga mempelajari
perkembangan motorik yang lebih halus, termasuk latihan yang sangat
dihargai: toilet training. Di masa ini, individu berkesempatan
untuk belajar tentang harga diri dan otonomi, seiring dengan berkembangnya
kemampuan mengendalikan bagian tubuh dan tumbuhnya pemahaman tentang benar dan
salah. Salah satu ketrampilan yant muncul di periode adalah kemampuan berkata
TIDAK. Sekalipun tidak menyenangkan orang tua, hal ini berguna untuk
pengembangan semangat dan kemauan.
Di sisi
lain, ada kerentanan yang bisa terjadi dalam periode ini, khususnya berkenaan
dengan kegagalan dalam proses toilet training atau mempelajari skill lainnya,
yang mengakibatkan munculnya rasa malu dan ragu-ragu. Lebih jauh, individu akan
kehilangan rasa percaya dirinya.
Dalam
periode ini, hubungan yang signifikan adalah dengan orang tua.
QS Al-Maidah
6: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.
Kebersihan
selalu menjadi bagian dari Islam, karena itu layak diajarkan sejak anak-anak
masih kecil agar mereka bisa mandiri dalam melakukannya serta terbiasa
membersihkan diri sekalipun belum siap untuk beribadah secara formal.
3. Tahap
Usia Bermain (Play Age): 3 hingga 5 tahun
Hasil
perkembangan ego: initiative vs guilt (inisiatif vs rasa bersalah)
Kekuatan
dasar: Tujuan
Pada periode
ini, individu biasanya memasukkan gambaran tentang orang dewasa di sekitarnya
dan secara inisiatif dibawa dalam situasi bermain. Anak laki-laki bermain
dengan kuda-kudaan dan senapan kayu, anak perempuan main “pasar-pasaran” atau
boneka yang mengimitasi kehidupan keluarga, mobil-mobilan, handphone mainan,
tentara mainan untuk bermain peran, dsb. Di masa ini, muncul sebuah kata yang
sering diucapkan seorang anak:”KENAPA?”
Sesuai
dengan konsep Freudian, di masa ini anak (khususnya laki-laki) juga sedang
berjuang dalam identitas gender-nya yang disebut “oedipal struggle”. Kita
sering melihat anak laki-laki yang bermain dengan alat kelaminnya, saling
menunjukkan pada sesama anak laki-laki, atau bahkan menunjukkan pada anak
perempuan sebaya. Kegagalan melalui fase ini menimbulkan perasaan bersalah.
Hubungan
yang signifikan di periode ini adalah dengan keluarga inti (ayah, ibu, dan
saudara).
Rasulullah
SAW bersabda; “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua
orang-tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR Bukhari)
Anak-anak di
usia ini disebut dengan golden age, karena memiliki ingatan yang
luar biasa, dan apapun memory yang didapatkan di kurun usia ini akan menjadi
kenangan seumur hidup. Karena itu biarlah mereka selalu mengenang orang tuanya
sebagai ilham bagi perbuatan penuh kebajikan dan amal saleh di kelak kemudian
hari.
4. Tahap
Usia Sekolah (School Age): Usia 6 – 12 tahun
Hasil
perkembangan ego: Industry vs Inferiority (Industri vs Inferioritas)
Kekuatan
dasar: Metode dan kompetensi
Periode ini
sering disebut juga dengan periode laten, karena individu sepintas hanya
menunjukkan pertumbuhan fisik tanpa perkembangan aspek mental yang berarti,
berbeda dengan fase-fase sebelumnya. Kita bisa simak, dalam periode sebelumnya
pertumbuhan dan perkembangan berbilang bulan saja untuk manusia agar bisa
tumbuh dan berkembang.
Ketrampilan
baru yang dikembangkan selama periode ini mengarah pada sikap industri
(ketekunan belajar, aktivitas, produktivitas, semangat, kerajinan, dsb), serta
berada di dalam konteks sosial. Bila individu gagal menempatkan diri secara
normal dalam konteks sosial, ia akan merasakan ketidak mampuan dan rendah diri.
Sekolah dan
lingkungan sosial menjadi figur yang berperan penting dalam pembentukan ego
ini, sementara orang tua sekalipun masih penting namun bukan lagi sebagai
otoritas tunggal.
Imam
asy-Syafi’i rahimahullaah pemah mengatakan dalam sya’irnya: Saudaraku, engkau
tidak akan mendapat ilmu, melainkan dengan enam perkara.Kukabarkan kepadamu
rinciannya dengan jelas: Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh, bekal
yang cukup, bimbingan ustadz, dan waktunya yang lama.
Anak-anak
selalu menganggap guru sebagai orang tua kedua, bahkan seringkali lebih
mendengar penuturan mereka. Karena guru dan teman-teman sekolah memberikan
pengaruh penting, kita wajib seksama dalam memilihkan pendidikan dasar anak
kita.
5. Tahap
Remaja (Adolescence): Usia 12 hingga 18 tahun
Hasil
perkembangan ego: Identity vs Role confusion (identitas vs kebingungan peran)
Kekuatan
dasar: devotion and fidelity (kesetiaan dan ketergantungan)
Bila
sebelumnya perkembangan lebih berkisar pada apa yang dilakukan untuk
saya, sejak stage perkembangan ini perkembangan tergantung padaapa yang
saya kerjakan. Karena di periode ini individu bukan lagi anak tetapi belum
menjadi dewasa, hidup berubah sangat kompleks karena individu berusaha mencari
identitasnya, berjuang dalam interaksi sosial, dan bergulat dengan
persoalan-persoalan moral.
Tugas
perkembangan di fase ini adalah menemukan jati diri sebagai individu yang
terpisah dari keularga asal dan menjadi bagian dari lingkup sosial yang lebih
luas. Bila stage ini tidak lancara diselesaikan, orang akan mengalami
kebingungan dan kekacauan peran.
Hal utama
yang perlu dikembangkan di sini adalah filosofi kehidupan. Di masa ini,
seseorang bersifat idealis dan mengharapkan bebas konflik, yang pada
kenyataannya tidak demikian. Wajar bila di periode ada kesetiaan dan
ketergantungan pada teman.
Menyendiri
lebih baik daripada berkawan dengan yang buruk, dan kawan bergaul yang sholeh
lebih baik daripada menyendiri. Berbincang-bincang yang baik lebih baik
daripada berdiam dan berdiam adalah lebih baik daripada berbicara (ngobrol)
yang buruk. (HR. Al Hakim) Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan
akrabnya, maka hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping. (HR.
Ahmad)
Pergaulan
menjadi sangat crucial di usia ini, dan sangat menentukan arah masa depan
perkembangan kerohanian seseorang kelak. Orang tua perlu mengontrol siapa saja
teman anak-anaknya tanpa merasa rikuh, karena tugas orang tua adalah memilihka
teman yang bisa membawa anak ke jalan kehidupan yang benar.
6. Tahap
Dewasa Awal (Young Adulthood): Usia 18 hingga 35 tahun
Hasil
perkembangan ego: Solidarity vs Isolation (Solidaritas vs isolasi)
Kekuatan
dasar: affiliation and love (kedekatan dan cinta)
Langkah awal
menjadi dewasa adalah mencari teman dan cinta. Hubungan yang saling
memberikan rasa senang dan puas, utamanya melalui perkawinan dan persahabatan.
Keberhasilan di stage ini memberikan keintiman di level yang dalam.
Kegagalan di
level ini menjadikan orang mengisolasi diri, menjauh dari orang lain, dunia
terasa sempit, bahkan hingga bersikap superior kepada orang lain sebagai bentuk
pertahanan ego.
Hubungan
yang signifikan adalah melalui perkawinan dan persahabatan.
QS
An-Nuur32: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
” jika
seorang hamba menikah sesungguhnya ia telah menyempurnakan separuh agamanya.
Karena itu bertakwalah pada Allah untuk menyempurnakan sebagian yang lain” (HR
Al Baihaqi)
Menikah
adalah pilihan, namun bagi kaum muslim adalah sunnah. Pernikahan yang baik dan
berdasarkan ridha Allah akan memberikan ketenteraman.
7. Tahap
Dewasa (Middle Adulthood): Usia 35 hingga 55 atau 65tahun
Hasil
perkembangan ego: Generativity vs Self Absorption or Stagnation
Kekuatan
dasar: production and care (produksi dan perhatian)
Masa ini
dianggap penting karena dalam periode inilah individu cenderung penuh dengan
pekerjaan yang kreatif dan bermakna, serta berbagai permasalahan di seputar
keluarga. Selain itu adalah masa “berwenang” yang diidamkan sejak lama.
Tugas yang
penting di sini adalah mengejawantahkan budaya dan meneruskan nilai budaya pada
keluarga (membentuk karakter anak) serta memantapkan lingkungan yang stabil.
Kekuatan timbul melalui perhatian orang lain, dan karya yang memberikan
sumbangan pada kebaikan masyarakat, yang disebut dengan generativitas. Jadi di
masa ini, kita takut akan ketidak aktifan dan ketidak bermaknaan diri.
Sementara
itu, ketika anak-anak mulai keluar dari rumah, hubungan interpersonal tujuan
berubah, ada kehidupan yang berubah drastic, individu harus menetapkan makna
dan tujuan hidup yang baru. Bila tidak berhasil di stage ini, timbullah
self-absorpsi atau stagnasi.
Yang
memainkan peranan di sini adalh komunitas dan keluarga.
Anas bin
Malik r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak sempurna
iman seseorang di antaramu kecuali jika ia mencintai saudaranya sebagaimana
yang ia cintai untuk dirinya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Nu’man bin Basyir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan
orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan saling membantu
itu bagaikan satu jasad. Jika ada di antaranya yang merasa sakit, maka semua
unsur jasad ikut tidak tidur dan merasa demam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Menjadi
bagian dari komunitas adalah tuntunan bagi orang Islam, selain untuk amalan
hablum minannas juga untuk menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin.
7. Tahap
Dewasa Akhir (Late Adulthood): Usia 55 atau 65tahun hingga mati
Hasil
perkembangan ego: Integritas vs Despair (integritas vs keputus asaan)
Kekuatan
dasar: wisdom (kebijaksanaan)
Orang
berusia lanjut yang bisa melihat kembali masa-masa yang telah dilaluinya dengan
bahagia, merasa tercukupi, dan merasa telah memberikan kontribusi pada
kehidupan, ia akan merasakan integritas. Kebijaksanaannya yang tumbuh
menerima keluasan dunia dan menjelang kematian sebagai kelengkapan kehidupan.
Sebaliknya,
orang yang menganggap masa lalu adalah kegagalan merasakan keputus asaan, belum
bisa menerima kematian karena belum menemukan makna kehidupan. Atau bisa jadi,
ia merasa telah menemukan jati diri dan meyakini sekali bahwa dogma yang
dianutnyalah yang paling benar.
QS
Al-Jumu’ah 8: Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya,
Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, Kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu
dia beritakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan”.
2.1.8 Teori
Vygotsky
Perkembangan
kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang
hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal
poin penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad yang lalu. Teori
Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20.
Sezaman
dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an.
Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak
saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah
pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif
terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda,
tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi
dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.
B. KONSEP
SOSIOKULTURAL
Banyak
developmentalis yang bekerja di bidang kebudayaan dan pembangunan menemukan
dirinya sepaham dengan Vygotsky, yang berfokus pada konteks pembangunan sosial
budaya. Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai
sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya.
Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan,
perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan
masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga
menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari
orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Penekanan
Vygotsky pada peran kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan kognitif
berbeda dengan gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang
kesepian.
Piaget
memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual, sedangkan
Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam
memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan
fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar
dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental
yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah.
Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan”
tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu
diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama
pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara
berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang
dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota
lain dalam kebudayaannya.
Vygotsky
menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level
konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah
kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas
kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan
melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma
perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal
memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental anak.
Menurut vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental
berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat,
keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif
dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian
pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar
belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang.
C. PERKEMBANGAN
BAHASA
Para pakar
perilaku memandang bahasa sama seperti perilaku lainnya, misalnya duduk,
berjalan, atau berlari. Mereka berpendapat bahwa bahasa hanya merupakan urutan
respons (Skinner,1957) atau sebuah imitasi (Bandura, 1977). Tetapi banyak
diantara kalimat yang kita hasilkan adalah baru, kita tidak mendengarnya atau
membicarakannya sebelumnya.
Kita tidak
mempelajari bahasa di dalam suatu ”ruang hampa sosial” (social vacuum).
Kebanyakan anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Kita
memerlukan pengenalan kepada bahasa yang lebih dini untuk memperoleh
keterampilan bahasa yang baik (Adamson,1992; Schegloff,1989). Dewasa ini,
kebanyakan peneliti penguasaan bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai
konteks sosial yang luas menguasai bahasa ibu mereka tanpa diajarkan secara
khusus dan dalam beberapa kasus tanpa penguatan yang jelas ( Rice,1993). Dengan
demikian aspek yang penting dalam mempelajari suatu bahasa tampaknya tidaklah
banyak. Walaupun begitu, proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih
banyak dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Suatu peran lingkungan
yang membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak kecil
disebutmotherese, yakni cara ibu dan orang dewasa sering berbicara pada
bayi dengan frekuensi dan hubungan yang lebih luas dari pada normal, dan dengan
kalimat-kalimat yang sederhana.
Bahasa
dipahami dalam suatu urutan tertentu. Pada setiap tahap di dalam tahap
perkembangan, interaksi linguistik anak dengan orang tua dan orang lain pada
dasarnya mengikuti suatu prinsip tertentu ( Conti-Ramsden & Snow, 1991;
Maratsos, 1991). Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja sangat
dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar
anak sejak usia dini jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang
diperkirakan di masa lalu ( Von Tetzchner & Siegel, 1989).
Vygotsky
lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif daripada Piaget.
Bagi Piaget, bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap perkembangan
yang cukup maju. Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap perkembangan
kognitif saat itu. Namun, bagi Vygotsky, bahasa berkembang dari interaksi
sosial dengan orang lain. Awalnya, satu-satunya fungsi bahasa adalah
komunikasi. Bahasa dan pemikiran berkembang sendiri, tetapi selanjutnya anak
mendalami bahasa dan belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu
memecahkan masalah. Dalam tahap praoperasional, ketika anak belajar menggunakan
bahasa untuk menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang sembari
menyelesaikan masalah. Sebaliknya, begitu menginjak tahap operasional konkret,
percakapan batiniah tidak terdengar lagi.
D. ZONE
PERKEMBANGAN PROKSIMAL
Meskipun
pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui
pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang
jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan
pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.
Pada satu
sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan kemajuan
anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa anak-anak mampu melakukan sesuatu
sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaiman anak-anak
berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum
matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual
development dan potensial development pada anak. Aktual development ditentukan
apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau
guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau
kerjasama dengan teman sebaya.
Menurut
teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual
development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman
sebaya.
Maksud dari
ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan
perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri,
perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan
perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang
dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks.
Melalui perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, siswa
mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan
mendalami kemudian menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada proses ini adalah
bahwa siswa belajar untuk pengaturan sendiri (self-regulasi).
E. KONSEP
SCAFFOLDING
Scaffolding
merupakan suatu istilah yang ditemukan oleh seorang ahli psikologi
perkembangan-kognitif masa kini, Jerome Bruner, yakni suatu proses yang
digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui zona perkembangan
proksimalnya.
Pengaruh
karya Vygotsky dan Bruner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et
al.(1998).
1. Walaupun
Vygotsky dan Bruner telah mengusulkan peranan yang lebih penting bagi orang
dewasa dalam pembelajaran anak-anak daripad peran yang diusulkan Piaget,
keduanya tidak mendukung pengajaran didaktis diganti sepenuhnya. Sebaliknya
mereka malah menyatakan, walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran
aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan
anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam
zona perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama
melalui ZPD.
2. Secara
khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh
penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan pembelajaran lewat
penemuan individu (individual discovery learning), kerja kelompok secara
kooperatif ( cooperative groupwork) tampaknya mempercepat perkembangan anak.
3. Gagasan
tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran pribadi oleh
teman sebaya ( peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang
agak tertinggal dalam pelajaran. Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan
pengajaran oleh teman sebaya ini dengan menggunakan teori Vygotsky. Satu anak
bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri
baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah melihat
kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang
sesuai.
Komputer
juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai cara. Dari
perspektif pengikut Vygotsky-Bruner, perintah-perintah di layar komputer
merupakan scaffolding ( Crook, 1994). Ketika anak menggunakan perangkat lunak
(software) pendidikan, komputer memberikan bantuan atau petunjuk secara detail
seperti yang diisyaratkan sesuai dengan kedudukan anak yang sedang dalam ZPD.
Tak pelak lagi, beberapa anak di kelas lebih terampil dalam menggunakan
komputer sehingga bisa berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya. Dengan
murid-murid yang bekerja dengan komputer, guru bisa dengan bebas mencurahkan
perhatinnya kepada individu-individu yang memerlukan bantuan dan menyiapkan
scaffolding yang sesuai bagi masing-masing anak.
F. KONSTRUKTIVISME
Pendekatan
konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah pendidikan dari dominasi guru
menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan
pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi pengalamn, pengetahuan,
dan pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari pembentukan pengertian
baru ini. Pada bagian ini, kita melihat permulaan aliran konstruktivisme ,
peranan pengalaman siswa dalam belajar dan bagaiman dapat mengasimilasi
pengertiannya.
Konstruktivisme
adalah suatu teori belajar yang mempunyai suatu pedoman dalam filosofi dan
antropologi sebaik psikologi. Pedoman filosofi pada teori ni ditemukan pada
abad ke-5 sebelum masehi. Ketika Socrates memajukan pemikiran dari level
sophist oleh metode perkembangan sistematis yang ditemukan melalui gabungan
antara pertanyaan dan alasan logika. Metode baru ini yang mengkontribusi secara
besar-besaran untuk memajukan aspek pemecahan masalah aliran konstruktivisme.
Penyelidikan
atau pengalaman fisik, pengalaman pendidikan adalah kunci metode
konstruktivisme. Selama abad ke-18 dan ke-17, filosof Inggris ” Frances Bacon”
memberikan ilmu metode untuk menyelidiki lingkungan.
Pendukung
konstruktivisme percaya bahwa pengalaman melalui lingkungan, kita akan mengikat
informasi yang kita peroleh dari pengalaman ini ke dalam pengertian sebelumnya,
membentuk pengertian baru. Dengan kata lain, pada proses belajar masing-masing
pelajar harus mengkreasikan pengetahuannya. Pada konstruktivis, kegiatan
mengajar adalah proses membantu pelajar-pelajar mengkreasikan pengetahuannya.
Konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan tidak hanya kegiatan penemuan yang
memungkinkan untuk dimengerti, tetapi pengetahuan merupakan cara suatu
informasi baru berinteraksi dengan pengertian sebelumnya dari pelajar.
Para
konstruktivisme menekankan peranan motivasi guru untuk membantu siswa belajar
mencintai pelajaran. Tidak seprti behaviorist, yang menggunakan sangsi berupa
reward, sedangkan konstruktivisme percaya bahwa motivasi internal, seperti
kesenangan pada pelajaran lebih kuat daripada reward eksternal.
Konstruktivisme
yang mempunyai pengaruh besar pada tahun 1930 yang bekerja sebagai ahli
Psikologi Rusia adalah L.S. Vygotsky, yang sangat tertarik pada efek interaksi
siswa dengan teman sekelas pada pelajaran. Jaramillo (1996) menjelaskan,
Vygotsky mencatat bahwa interaksi individu dengan orang lain berlangsung pada
situasi sosial. Vygotsky percaya bahwa subyek yang dipelajari berpengaruh pada
proses belajar, dan mengakui bahwa tiap-tiap disiplin ilmu mempunyai metode
pembelajaran tersendiri. Vygotsky adalah seorang guru yang tertarik untuk
mendesign kurikulum sebagai fasilitas dalam interaksi siswa.
2.1.9
Konsepsi Gestalt
Gestalt
berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau
konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa
tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting
yaitu :
- Hubungan bentuk dan latar (figure
and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang
pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar
belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan
sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar
bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara
latar dan figure.
- Kedekatan (proxmity);
bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam
bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
- Kesamaan (similarity);
bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai
suatu obyek yang saling memiliki.
- Arah bersama (common
direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah
yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk
tertentu.
- Kesederhanaan (simplicity);
bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana,
penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik
berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
- Ketertutupan (closure) bahwa
orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan
yang tidak lengkap.
Terdapat
empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
- Perilaku “Molar“ hendaknya
banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku
“Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya
kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan
dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola
adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna
dibanding dengan perilaku “Molecular”.
- Hal yang penting dalam
mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan
lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang
sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang
nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang
indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu
lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
- Organisme tidak mereaksi
terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan
tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya,
adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces,
gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain,
gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
- Pemberian makna terhadap suatu
rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang
dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan
merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan
tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi
teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
- Pengalaman tilikan (insight);
bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses
pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu
kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau
peristiwa.
- Pembelajaran yang bermakna (meaningful
learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang
pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna
hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini
sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam
identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal
yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan
logis dengan proses kehidupannya.
- Perilaku bertujuan (pusposive
behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya
terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan
dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan
efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh
karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas
pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
- Prinsip ruang hidup (life
space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan
dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya
memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan
peserta didik.
- Transfer dalam Belajar; yaitu
pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke
situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi
dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam
situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain
dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan
prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun
ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan
terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok
dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan
dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru
hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip
pokok dari materi yang diajarkannya.
2.1.10
Konsepsi Neo-Gestalt
Konsepsi ini
dikenal pula dengan nama “Field Theory” atau teori medan. Tokoh yang terkenal
pada konsepsi ini adalah Kurt Lewin. Pada intinya berpendapat perkembangan di
samping merupakan proses deferensiasi juga merupakan proses stratifikasi.
Struktur pribadi manusia digambarkan terdiri dari lapisan-lapisan, dan makin
besar akan makin tinggi perkembangganya, bertambah pula lapisan-lapisannya.
Pada awal perkembanggannya anak kecil masih satu lapis, anak akan jujur
mengatakan apa adanya dan belum dapat menyembunyikan sesuatu dalam jiwanya.
Anak tidak akan dapat berdusta dengan sengaja.
2.1.11
Konsepsi Bio-Sosial
Konsep ini
berpendapat bahwa hidup itu belajar dan perkembangan itu juga belajar. “Living
Is Learning and Growing Is Learning” maksudnya adalh setiap makhluk untuk dapat
mempertahankan hidupnya harus belajar, karena proses belajar manusia akan dapat
berkembang. Untuk belajar diperlukan, pemasakan biologis dan, pemasakan social.
Tokoh yang berpendapat demikian adalah R.J. Havighurs. Terdapat 4 faktor yang
berkaitan dengan perkembangan menurut pendapat ini. Factor tersebut yaitu
pertama, kemasan fisik kedua, tekanan social, ketiga nilai-nilai pribadi,
keempat, gabungan ketiganya.
BAB III
KESIMPULAN
- Perspektif teoritis utama
tentang perkembangan daintaranya adalah: Teori Psikoanalis, Teori
Perkembangan kognitif, Teori Belajar (Konsepsi Asosiasi), Teori
Humanistik, Teori Etologi, dan teori ekologi.
- Jika dilihat berdasarkan
teori-teori di atas maka secara umum perkembangan anak akan berbeda-beda
misalnya saja pada teori etologi mempunyai pandangan sebagai berikut:
a. anak
dilahirkan dengan tanpa kecenderungan tertentu
b.
factor bawaan berperan utama dalam perkembangan anak
c. anak
berperan aktif dalam proses perkembangan
d.
perkembanga berjalan secara kontinu
e. tahap
perkembangan bervariasi
DAFTAR PUSTAKA
Poerwanti,
endang dan Nur Widodo. 2002. Perkembangan Peserta Didik. UMM Press. Malang.
Santrock,
John. 1995. Life Span Development. Erlangga. Jakarta.
Hamalik,
Oemar. 1992. Psikologi Belajar dan Mengajar. Sinar Baru. Bandung.
Soetjitiningsih.
1993. Tumbuh Kembang Anak. EGC Penerbit Kedokteran. Jakarta.
Suryabrata.
1993. Psikologi Pendidikan. CV Rajawali. Jakarta.